2018 bisa dibilang sebagai tahun rentan gempa bumi di Indonesia. Setelah gempa besar di Lombok dan guncangan maha dahsyat di Palu-Donggala, giliran gempa bumi Situbondo 2018 mengejutkan Tanah Air. Bahkan untuk gempa Situbondo pada 11 Oktober 2018 ini, terjadi pada pukul 01.44 WIB sehingga langsung membuat masyarakat setempat yang tengah lelap tidur saat dini hari langsung lari tunggang langgang.
Gempa bumi di Situbondo juga masuk dalam kategori cukup besar karena berkekuatan magnitudo 6,3. BMKG melaporkan bahwa pusat gempa Situbondo ada di laut dengan jarak 61 kilometer arah timur laut kabupaten Situbondo, provinsi Jawa Timur dengan kedalaman 10 km. Tak main-main, gempa Situbondo ini bahkan menjalar dan sempat dirasakan masyarakat di kabupaten Banyuwangi, Bondowoso, Surabaya, Malang, pulau Madura hingga Bali.
Jika bicara mengenai kronologi gempa Situbondo, guncangan terkuat dirasakan oleh warga di kabupaten Situbondo dan Sumenep. Kenapa begitu? Karena pusat gempa ada di kawasan laut sekitar selat Madura bagian timur yang dekat dengan laut Bali. Baik masyarakat Situbondo dan Sumenep merasakan guncangan skala III-IV MMI selama dua sampai lima detik yang membuat mereka langsung berhamburan keluar rumah.
BMKG kemudian mencatat bahwa setelah gempa berkekuatan 6,3 skala Richter itu, ada 13 gempa bumi susulan yang terakhir mengguncang pukul 06.41 WIB. Namun belasan gempa susulan itu tidak sebesar gempa dini hari, meskipun masyarakat area Situbondo dan yang merasakan lainnya diminta untuk waspada. Seperti dilansir Merdeka, Hary Djatmiko selaku Humas BMKG menyebutkan jika belasan gempa susulan itu kekuatannya 2,5 – 3,5 magnitudo.
Segera setelah situasi cukup reda dan terkendali, BMKG pun membeberkan informasi mengenai penyebab gempa Situbondo. Jika mempertimbangkan lokasi episenter dan kedalaman hiposenter, gempa Situbondo ini ternyata masuk dalam kategori gempa bumi dangkal. Kuat dugaan jika gempa Situbondo disebabkan karena adanya aktivitas sesar/patahan di zona Back Arc Thrust.
Dengan segera, BMKG pun melakukan analisis dan hasilnya menunjukkan kalau gempa bumi Situbondo 2018 ini muncul karena deformasi batuan dengan mekanisme Sesar Naik yang bergerak. Bahkan dalam penelusuran lebih lanjut, gempa Situbondo rupanya terjadi karena Sesar Naik Flores dari verifikasi hasil seismik refleksi yang rupanya terbentang dari Bali Timur hingga Flores sana.
Kendati mungkin besarnya dan efek guncangan tidak sebesar di Lombok apalagi Palu-Donggala, gempa Situbondo rupanya menelan korban. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan kalau korban gempa Situbondo berasal di pulau Sapudi, kecamatan Gayam, kabupaten Sumenep yakni tiga orang meninggal dunia.
Mereka bertiga adalah dua warga dusun Jambusok yakni bocah perempuan bernama Nuril Kamiliya (7) dan pria dewasa bernama Nadhar (55) serta pria bernama Buhama (65) dari dusun Karang Nyior. Ketiga korban meninggal dunia karena terkena tembok rumah dan semuanya berasal dari desa Prambanan di pulau Sapudi. Sapudi sendiri merupakan pulau paling parah terkena gempa Situbondo dan tercatat ada 7 orang di kabupaten Sumenep juga luka-luka.
Kendati penyebab gempa Situbondo sama seperti gempa Lombok yakni sesar naik Flores, tapi BMKG memastikan kalau kedua gempa ini tak berhubungan. Meskipun begitu, baik gempa Situbondo, gempa Lombok dan tentunya gempa Palu-Donggala, sama-sama berkategori gempa dangkal. Bahkan jika diruntut, mayoritas gempa di Indonesia yang menelan korban jiwa dan kerusakan maha dahsyat, kebanyakan merupakan gempa jenis dangkal.
Beberapa di antaranya adalah gempa Yogyakarta (2006), Pangandaran (2006) dan Ambon (2017) yang terjadi di lapisan mantel bumi di rentang kedalaman 0-70 km. Bahkan gempa-gempa di belahan bumi lain seperti gempa Myanmar (2011) dan Italia (2016) merupakan gempa bumi dangkal yang lagi-lagi menewaskan total ribuan orang. Hal ini membuktikan kalau gempa bumi dangkal lebih merusak karena lokasinya dekat di permukaan tanah.
Bahkan menurut ahli Geologi Australia yakni Jane Cuneen dan Phil R. Cummins dalam artikelnya yang terbit di The Conversation pada Agustus 2018, gempa bumi dangkal lebih bisa memicu tsunami karena pergerakan sesar aktif di darat menyebabkan longsor bawah laut yang menimbulkan tsunami. Namun semoga saja, gempa bumi Situbondo 2018 adalah gempa dangkal terakhir di Indonesia.